Minggu, 10 April 2016

Cerpen: Jangan Tidur di Kereta Listrik


Jangan Tidur di Kereta Listrik - Setiyo Bardono
(Cerpen ini dimuat di Radar Bekasi, edisi 9 April 2016)

“Bangun Mas! Ada ibu hamil"
Aku terperanjat. Suara seseorang terdengar keras menginterupsi lelap. Saat mata terbuka, kudapati dua orang perempuan berdiri di hadapanku. Salah satunya ibu hamil. Seketika aku merasa sangat bersalah.
"Maaf Bu, silakan duduk."
Aku lekas berdiri. Ibu hamil itu segera duduk. Ia mengucapkan terima kasih seraya tersenyum. Kusapu pandangan ke sekujur kereta. Puluhan pasang mata menatapku tajam. Derak roda kereta rel listrik (KRL) Commuter Line terasa menggetarkan risau di hatiku.
Aku bergeser mencari tempat berdiri yang lebih nyaman di persambungan. Kereta listrik memelankan lajunya. Sebagai penumpang yang tiap hari naik KRL, aku bisa mengenali stasiun tanpa harus membaca papan nama atau menunggu pengumuman. Stasiun Lenteng Agung menyambut kedatangan kereta. Berarti sudah cukup lama aku tertidur.
Sejak aku terlelap di sinyal masuk stasiun Manggarai, kereta sudah melintasi sembilan stasiun. Entah dari stasiun mana ibu hamil itu berdiri di depanku. Mudah-mudahan baru satu atau dua stasiun saja. Ibu hamil itu mengusap perut buncitnya sambil melemparkan seulas senyum ke arahku. Nampaknya ia tahu keresahan yang merajai hati.
Aku menangkupkan kedua telapak tangan di dada sebagai tanda penyesalan dan permintaan maaf. Ibu itu mengangguk dan kembali tersenyum. Aku bernafas lega. Aku berharap senyum itu sebagai sebuah pengertian yang ikhlas dari seorang ibu. Semoga di lain kesempatan aku bisa tetap terjaga saat naik kereta.
--- oOo ---

Parah gan! Ada ibu hamil berdiri, lelaki ini malah tidur pulas di TDP. Dasar lelaki tak tahu diri.
Aku terperanjat saat mengetahui peristiwa memalukan itu terpajang di jejaring sosial. Rupanya ada penumpang yang diam-diam memotretku dan mengunggahnya di grup facebook komunitas penumpang KRL.   
Dalam foto itu, nampak jelas diriku tertidur nyenyak di kursi prioritas dengan mulut setengah terbuka. Parahnya, foto itu terunggah apa adanya. Tak ada upaya memburamkan wajah atau dipotong agar tak tampak bagian kepala.
Di sampingku duduk berjajar seorang anak kecil, ibu separuh baya, dan ibu memangku balita. Sementara, seorang Ibu hamil berdiri di depanku. Di kaca tertempel stiker bertuliskan Tempat Duduk Prioritas (TDP) dengan gambar simbol ibu hamil, ibu membawa balita, manula, dan penyandang disabilitas.
Ratusan komentar bernada sindiran, hujatan, umpatan, dan kalimat kotor lainnya memenuhi layar telepon genggam. Hanya sedikit komentar yang bernada bijak dan menyejukkan. Bibirku gemetar membacanya.
Semakin lama komentar baru bermunculan. Semakin banyak pula yang menyebarkan fotoku. Ah, tak lama lagi seluruh dunia akan mengetahuinya. Sebentar lagi dunia akan menempelkan label di kepalaku sebagai lelaki yang tak peduli pada ibu hamil. Jika besok aku naik KRL, pasti ada banyak penumpang akan mencibirku.
Ingin sekali aku berkomentar, namun jemari tanganku bergetar hebat. Kulempar telepon genggam ke atas bantal. Biasanya sepulang kerja, aku asyik menyelami dunia maya, berbincang dengan pacarku, Nuraini atau bercanda ria teman-teman satu grup di sosial media.
Malam ini, dunia maya terasa kejam dan menakutkan.
--- oOo ---

"Tidur di Kursi Prioritas, Lelaki Muda Tak Peduli Ibu Hamil"
Aku terperanjat membaca artikel di media massa online. Foto yang terpajang sebagai ilustrasi memenuhi layar telepon genggamku. Tanganku gemetar. Mataku tak sanggup menatap kenyataan. Aku terduduk lemas di peron stasiun Depok Baru.
Seorang pria tertidur pulas di KRL Commuter Line. Sementara, seorang ibu hamil berdiri bergelantungan di depannya. Ibu hamil itu pasrah dan tak berusaha membangunkan sang pria.
Foto itu persis sama dengan foto yang ada di grup facebook komunitas penumpang KRL. Mungkin foto itu dicomot dari sana oleh penulis berita. Dalam media online, fotoku juga diunggah apa adanya. Wajahku tidak diburamkan atau dipotong biar tidak kelihatan.
Aku merasa malu menatap foto diri dalam posisi seperti itu. Seumur hidup, ini kali pertama fotoku termuat di media massa. Sayangnya bukan karena kilau prestasi, tapi karena peristiwa yang membuat resah hati. Apa kata orang-orang dekatku kalau mereka membaca berita ini.
Kondisi itu berlangsung hingga seorang ibu menegurnya. Ibu tersebut baru masuk ke dalam kereta di stasiun Tanjung Barat. Pria yang mengenakan kaos putih itu langsung berdiri dan memberikan tempat duduknya.
Tak lama, berita ini pun terunggah di grup facebook komunitas penumpang KRL. Seperti foto sebelumnya, komentar-komentar sadis kembali bermunculan. Mulai dari otak yang pindah ke dengkul, lelaki yang tidak peduli, hingga  lelaki yang lahir dari batu yang layak untuk “Disiram pakai air got.”  Ada juga yang komentar bernada provokatif, “Penumpang tak tahu diri, pantasnya dilempar saja dari atas kereta. Kapok lu masuk koran.”
Komentar pun melebar kemana-mana hingga ada komentar yang merembet ke pemerintahan, “Mungkin pemerintah bisa mengambil kebijakan agar wanita hamil bisa cuti 9 bulan, kasihan kalau di angkutan umum tidak dapat tempat duduk.”
Membaca ratusan komentar bernada menyalahkan dan menghujatku, jemari tanganku kembali bergetar hebat. Aku tak kuasa mengetikkan satu hurufpun untuk membalas komentar. Kemunculanku mungkin juga tidak akan membuat masalah jadi terang. Bisa-bisa aku di-bullly habis-habisan.
Tapi aku bersyukur karena ada yang masih bisa berpikir jernih dan mengajukan pertanyaan kritis. “Kalau ada penumpang tertidur yang ditegur. Jangan cuma bisa motret saja.” Komentar itu ternyata diamini juga oleh pembaca lain: “Iya tuh, kok seisi kereta diam saja nggak ada yang menegur. Berarti sama juga tidak mau peduli.”
Kata orang bijak, selembar foto bercerita lebih dari seribu kata. Benar juga, buktinya selembar fotoku mengundang lebih dari beragam komentar. Padahal peristiwa yang diabadikan dalam selembar foto punya hubungan dengan peristiwa sebelumnya. Tapi bagaimana aku bisa memberi penjelasan pada mereka?
Aku merasa diadili tanpa asas praduga tak bersalah?
--- oOo ---

Aku sama sekali tak menyangka peristiwa sore itu berbuntut panjang. Padahal, tak ada niatan sekalipun dalam hatiku untuk tidak peduli pada ibu hamil. Jika waktu itu aku terjaga, pasti aku akan memberikan tempat duduk pada ibu hamil itu. Namun, derak kereta serupa nina bobok yang membuai mata menyelami kantuk.
Sore itu, aku sengaja pulang selepas ashar agar bisa lekas mengistirahatkan raga dan pikiran. Sehari sebelumnya, pekerjaan menumpuk memaksakku menginap di gudang kantor. Ada banyak berkas dan peralatan yang harus disiapkan untuk acara kantor esok hari. Semalaman aku hanya tidur dua jam saja. Dari pagi hingga siang saat acara berlangsung, aku masih harus wira-wiri untuk berbagai keperluan.
Dari tengah malam hingga dini hari, Nuraini, pacarku beberapa kali mengingatkan agar aku lekas istirahat. "Kalau diturutin, pekerjaan tidak akan ada habisnya. Jaga kesehatan, Mas. Jangan lupa sholat dan makan."
Sore itu suasana kereta rel listrik lumayan lengang. Namun semua kursi sudah terisi oleh penumpang. Satu-satunya celah kosong ada di deretan tempat duduk prioritas. Karena tidak ada ibu hamil, manula, orang tua membawa balita, atau penyandang disabilitas, aku pun mendudukinya.
Apa salahnya duduk di kursi prioritas selagi tidak ada penumpang prioritas yang membutuhkannya? Toh, namanya juga prioritas bukan khusus. Jika di perjalanan ada penumpang prioritas naik, aku akan segera bangun dan mempersilakannya duduk.
Rupanya niat baikku terkalahkan oleh kantuk. Guncangan kereta menghipnotis kesadaranku. Akupun terlelap dalam kereta. Entah berapa stasiun. Entah sudah berapa orang naik dan turun. Hingga suara keras seorang ibu membangunkan, 
“Bangun Mas! Ada ibu hamil"
Sekarang, pembelaan apa yang harus aku lakukan. Jejaring sosial di dunia maya telah menghakimi, tanpa memberi kesempatan bagiku untuk membela diri. Aku seperti orang yang disangka maling, tertangkap digebuki massa tanpa diberi kesempatan untuk bicara. Padahal aku tidak mencuri apa-apa.
Sekarang persoalan yang lebih penting adalah meyakinkan pacarku. Nuraini. Karena aktif di jejaring sosial, Nuraini mengetahui peristiwa itu. Ia menyesalkan sikapku yang tidak mau peduli dengan ibu hamil. Tragisnya, ia langsung minta putus hubungan, dengan alasan, “Kalau sama ibu hamil saja tidak peduli, bagaimana nanti kalau kita menikah dan aku hamil?”
Tak hanya itu, aku juga harus mencari cara bagaimana meyakinkan emak dan saudara-saudaraku di kampung. Entah siapa yang menunjukkan foto itu padanya. Siapa pun, harusnya dia berpikir bagaimana perasaan emak waktu melihat fotoku. Tiga hari sejak peristiwa dimuatnya foto itu, emak menelpon sambil menangis.
“Emak lihat kamu masuk koran pas naik kereta. Lha kok fotonya seperti itu? Emak malu sama tetangga.”
Akhir pekan nanti aku bertekad untuk pulang kampung. Aku harus berbicara dan menyakinkan emak kalau aku tidak salah. Biarlah semua orang menghukum dan menuduhku, yang penting emak percaya kalau aku sama sekali tidak bersalah.
Roda kereta terus berderak tanpa mempedulikan kerisauan hatiku. Aku merapatkan topi dan masker. Semenjak peristiwa itu, topi dan masker menjadi pelindung wajah dari pandangan penumpang kereta. Aku takut ada orang yang mengenaliku sebagai lelaki yang ada dalam foto itu. Lelaki yang tak peduli pada ibu hamil.
Agar kalian tidak mengalami persoalan seperti ini, aku hanya bisa berpesan: “Jangan tidur di kereta listrik!”
--- oOo ---
Depok, 10 Oktober 2015

*SETIYO BARDONO, penulis kelahiran Purworejo bermukim di Depok, Jawa Barat. Bergiat di Paguyuban Sastra Rabu Malam (Pasar Malam). Antologi puisi tunggalnya berjudul Mengering Basah (Aruskata Pers, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Production, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Novel karyanya: Koin Cinta (Diva Press, 2013) dan Separuh Kaku (Penerbit Senja, 2014). 

Kamis, 22 Oktober 2015

Nasib Satwa di Keranjang Belanja

foto: wwf-indonesia
Dalam gelegak minyak terdengar tangis gajah yang terkapar
Dalam renyah gorengan terdengar gemeretak hutan yang terbakar.
Dari dapur dan meja makan ada jerit orangutan yang terusir.
Kalimat pembuka itu mungkin terlalu dramatis. Tapi jika kita menelusuri apa yang kita masak dan konsumsi: darimana asalnya, terbuat dari apa, bagaimana prosesnya, ramah lingkungan atau tidak, dan lain-lain. Kita akan menjumpai sesuatu yang di luar pemikiran kita. Secara tidak langsung, banyak kegiatan di dapur rumah kita merusak lingkungan, serta menggusur dan membunuh kehidupan lain.
Jangan seperti kacang lupa kulitnya atau ulat lupakan daun. Peribahasa itu mengajarkan kita untuk tidak melupakan asal-usul dan orang yang berjasa kepada kita. Begitu juga dalam mencari rejeki. Ajaran agama dan orang tua sering menekankan agar kita mencari rejeki yang halal, baik, dan penuh keberkahan.
Rejeki yang baik itu juga harus dimanfaatkan di jalan yang baik. Begitu juga saat membeli dan mengonsumsi sesuatu. Secara tidak langsung apa yang kita beli dan konsumsi akan berpengaruh terhadap diri kita maupun lingkungan. Barang-barang yang diproduksi tanpa memperhatikan kelestarian lingkungan, akan berpengaruh pada masa depan. Konsumen yang bijak pasti akan membeli produk yang baik.
Jangan sampai saat menikmati renyahnya gorengan, secara tidak sadar kita sudah berperan dalam kematian gajah atau pengusiran orang utan. Mengapa bisa begitu? Diah R. Sulistiowati, Koordinator Kampanye Hutan dan Spesies World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, mengungkapkan 70% kematian gajah disebabkan diracun oleh pemilik kebun sawit. Keberadaan Gajah ini dianggap hama karena memakan umbut atau ujung dari pohon sawit. Jalan pintas yang diambil adalah meracun gajah.
Akibatnya, habitat dan populasi Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) mengalami penurunan drastis. Sekitar 70% habitatnya hilang atau rusak hanya dalam satu generasi sejak 1985. Sebanyak 23 kantong populasi gajah seperti di Lampung dan Riau, mengalami kepunahan lokal pada periode tersebut.
Berdasarkan data Forum Konservasi Gajah Indonesia tahun 2014, dari 56 habitat Gajah Sumatera, 13 diantaranya tak lagi ditemukan alias diduga punah. Status keberadaan gajah di sebelas habitat lainnya dinyatakan kritis dan dua lainnya di ambang kritis.
Penyebab kepunahan gajah dari habitat alaminya itu disinyalir dibunuh atau mati karena ruang geraknya kian menyempit dan kekurangan makanan. Kondisi itu terjadi di enam habitat gajah di Riau, tiga lokasi di Sumatera Selatan, dua lokasi di Jambi, dan masing-masing satu lokasi di Bengkulu dan Sumatera Barat. (Kompas, 18 November 2014)
Persoalan yang menimpa habitat gajah tak jauh berbeda dengan orangutan. Hak hidup mereka di alam bebas telah terenggut dari perubahan fungsi lahan.  Berdasarkan data Indonesia Palm Oil Advocacy Team tahun 2010, sekitar 10 juta hektare lahan di Kalimantan yang merupakan “rumah” bagi orangutan berubah menjadi perkebunan kelapa sawit.
Orangutan berada dalam status konservasi yang sangat terancam. Menurut Lembaga Konservasi Satwa Internasional IUCN, Orangutan Kalimantan dikategorikan spesies berstatus genting (endangered),dan Orangutan Sumatera masuk kategori kritis (critically endangered). Kedua spesies tersebut juga terdaftar dalam Apendiks l dari Konvensi Perdagangan Internasional  Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah/CITES. Artinya, orangutan maupu bagian tubuhnya tidak boleh diperdagangkan di dunia. 
Sebagai konsumen tentunya kita tidak ingin produk yang kita pakai ternyata merusak lingkungan dan menggusur kehidupan binatang. Di sisi lain, produk turunan sawit sangat lekat dalam kehidupan sehari-hari. Bukan hanya minyak goreng, produk turunan sawit bisa menjadi bahan baku untuk pembuatan margarine, cokelat, es krim, sabun, lotion, pasta gigi, dan lain-lain.
Menurut Mantan Menteri Perindustrian MS Hidayat, minyak sawit bisa diolah menjadi lebih dari 300 jenis produk turunan untuk segmen pangan, kimia, energi terbarukan, termasuk biodiesel. Sebelum program hilirisasi minyak sawit dijalankan pada 2011, ragam produk hilir minyak sawit yang dihasilkan Indonesia hanya 54 jenis. (Investor Daily, 11 September 2014)
Logo RSPO

Sebelum membeli produk, konsumen sering meneliti suatu produk. Mulai dari harga, tanggal kadaluarsa, kemasan, nomer ijin BPOM RI, serta keberadaan label seperti logo Halal maupun logo Standar Nasional Indonesia (SNI). Sebagai konsumen yang baik, ada lagi yang harus diperhatikan saat membeli produk minyak sawit yaitu apakah produk tersebut ramah lingkungan atau tidak.
Lalu bagaimana konsumen bisa mengenali produk-produk minyak sawit yang ramah lingkungan (eco-label)? Coba cek di kemasan produk tersebut, apakah sudah tertera logo Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Dengan adanya logo ini, dijamin produk-produk minyak sawit yang keluar dari produsen sudah menerapkan praktik sawit berkelanjutan dan tentu saja  aman dari pembunuhan gajah. Selain itu, konsumen bisa memantau di sosial media kampanye  #BeliYangBaik.
RSPO yang berdiri tahun 2004 merupakan asosiasi nirlaba yang berpusat di Zurich. Asosiasi ini berupaya menyatukan berbagai pemangku kepentingan dari  industri kelapa sawit, yaitu produsen, pengolah atau pedagang, produsen produk konsumen, pengecer, bank dan investor, LSM konservasi lingkungan, dan LSM sosial untuk mengembangkan standar global minyak sawit berkelanjutan.
Praktik produksi minyak sawit berkelanjutan akan membantu mengurangi deforestasi, melestarikan keanekaragaman hayati, dan menghargai kehidupan masyarakat pedesaan di negara penghasil minyak sawit. RSPO menjamin tidak ada hutan primer baru atau kawasan bernilai konservasi tinggi yang dikorbankan untuk perkebunan kelapa sawit.
Perusahaan kebun sawit pemegang RSPO akan diaudit berkala, demi menjaga kinerja dan jaminan terhadap pelestarian spesies. Jika ada gajah di dalam kebunnya, mereka menerapkan BMP Gajah (Best Management Practices) dalam penanganannya. RSPO juga melarang anggotanya melakukan pembakaran hutan untuk pembukaan lahan serta memiliki prosedur operasional standar untuk mengelola resiko kebakaran, seperti disyaratkan dalam Principle & Criteria RSPO.
Dengan menjadi menjadi konsumen yang baik dan cerdas, berarti kita telah berkontribusi dalam penyelamatan hutan tropis Indonesia. Hutan tropis yang merupakan rumah bagi beragam satwa yang diantaranya dalam status terancam punah. Tanpa bantuan konsumen cerdas, mereka akan bertarung sendiri melawan ekspansi perkebunan kelapa sawit.
Kepedulian konsumen dalam memilih produk kelapa sawit berlogo RSPO akan menyadarkan 49% perusahaan perkebunan kelapa sawit yang belum bersertifikat sustainable palm oil. Sumber daya alam yang dikelola tanpa prinsip-prinsip berkelanjutan pada akhirnya akan merugikan kehidupan. Sebagaimana kata bijak dari Mahatma Gandhi, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun tidak cukup untuk memenuhi keinginan segelintir kecil manusia yang serakah.
Ternyata saat kita menaruh produk ke dalam keranjang atau troli belanja, ada nasib hutan dan satwa langka yang dipertaruhkan. Karena itu jadilah konsumen bijak dengan #BeliYangBaik. Apakah kita akan membiarkan dapur dan meja makan sebagai ajang perusakan lingkungan, pembantaian gajah dan pengusiran orangutan?

Depok, 22 Oktober 2015

Senin, 19 Oktober 2015

eBook 40 Puisi Perkeli

Bagi rekan2 yang suka puisi, silakan download ebook terbaru karya saya: 40 Puisi Perkeli. Buku untuk mengenang perjalanan KRL Ekonomi.

Sampul ebook 40 Puisi Perkeli

Senin, 01 Juni 2015

Cerpan: Saldo

(cerita ini saya tulis sebagai bentuk penghargaan terhadap kejujuran seorang office boy yang menemukan Kartu Multi Trip dan berusaha mengembalikannya)

Paijo tertegun menatap sederet angka yang tertera di layar mesin pengecek saldo. Tiga kali ia menempelkan Kartu Multi Trip (KMT). Saldonya tetap sama: 247.000.
Selama menjadi pengguna Kereta Rel Listrik (KRL) belum pernah saldo tiket elektroniknya lebih dari empat puluh ribu. Paijo tak menyangka, KMT yang ditemukannya dalam perjalanan menuju Stasiun Gondangdia menyimpan saldo menggoda.
Di saat yang sama, saldo KMT miliknya sangat mengenaskan: dua belas ribu rupiah. Hanya selisih seribu rupiah dari saldo minimal. Saatnya mengisi ulang agar tidak terkena denda suplisi lima puluh ribu rupiah.
Antrian di depan loket nampak mengular. Paijo mendesah sambil mengibaskan KMT tak bertuan. Tak ada identitas maupun foto pemilik. Satu-satunya jejak hanya goresan tanda tangan.
Jika harus mengembalikan pada pemilik sah, bagaimana cara menyusurinya? Apakah ia harus mematuhi ketentuan yang tertera di balik KMT: Barang siapa yang menemukan kartu ini harap mengembalikan ke stasiun terdekat.
Kebimbangan menguasai pikiran. Ketika nanti pengumuman penemuan KMT menggema di Stasiun Gondangdia, jangan-jangan banyak orang yang mengaku kehilangan. KMT ini bisa jatuh ke tangan orang yang tidak berhak.
Seketika pikirannya rusuh. Ah, mengapa bukan aku saja yang menggunakannya. Lumayan bisa naik KRL gratis selama satu setengah bulan.
Paijo mencoba menghalau pikiran buruk dan mengukuhkan pendirian. Ia tak boleh menggunakan barang yang bukan miliknya.
Ia lekas merogoh saku bajunya, tak ada selembar uangpun. Dompet pun mengangga menjulurkan dua lembar uang sejumlah tiga puluh ribu rupiah. Alhamdulillah masih bisa isi saldo dan naik angkot ke rumah.
Saat berdiri di ujung antrian penumpang yang membeli tiket, telepon genggamnya bergetar. Gambar amplop putih berkedip-kedip di layar. Pesan dari Nuraini, istrinya terbuka.
“Pa, nanti mampir ke pasar. Beli jeruk Medan buat Intan, 2 kilo yang gede-gede.”
Deg! Paijo tertegun. Dua kilo jeruk harganya dua puluh lima ribu. Sisa uang lima ribu tak mungkin digunakan untuk isi ulang KMT dan naik angkot. Tapi rasanya tak tega menolak permintaan istrinya.
Seketika, Paijo teringat pada KMT temuan di saku bajunya. Sekali ini saja, tak apalah memakainya. Toh hanya berkurang sedikit. Pemiliknya pasti bisa memakluminya, pikir Paijo.
Paijo pun keluar dari antrian. Tubuhnya bergerak menuju deretan pintu masuk.
--- oOo ---

Paijo turun dari KRL dan mengikuti arus keluar penumpang menuju pintu keluar Stasiun Depok Baru. Seusai mengantri, ia menempelkan KMT di gate out. Ia membolak-balik KMT, namun lampu indikator tak jua menyala hijau. Saat seorang petugas menghampirinya, Paijo melihat goresan tanda tangan di KMT. Paijo tersadar bahwa itu bukan KMT miliknya.
“Maaf Pak salah kartu,” kata Paijo kepada petugas.
Paijo merogoh KMT lain yang ada di dalam saku celananya. Begitu menempel di gate out, lampu indikator langsung menyala hijau. Ia bergegas keluar, melangkah menuju deretan lapak pedagang buah tak jauh dari ujung peron stasiun. Musim Duku Palembang sudah usai, lapak-lapak dikuasai oleh salak pondok dan jeruk.
“Berapa Bang?” tanya Paijo sambil mencicipi jeruk yang sudah terkelupas. Rasanya manis juga.
“Biasa sekilo lima belas ribu,” kata pedagang jeruk.
“Sepuluh ribu ya Bang.”
“Belum bisa Pak. Kalau beli dua kilo bisa dua puluh lima ribu.”
“Sekilo saja deh.”
Sambil memilih jeruk, peristiwa sebelumnya melintas dalam pikiran. Pikiran rusuh berhasil membujuknya untuk menggunakan KMT Temuan. Saat kakinya tinggal selangkah lagi melewati pintu masuk Stasiun Gondangdia, suara Adzan terdengar. Paijo berhenti dan memutuskan untuk Sholat Isya. Basuhan air wudhu, perjalanan rakaat dan doa meluruhkan niatan kusut di hatinya.
Walaupun sisa saldo di KMT temuan begitu menggoda, ia tak berhak menggunakannya. Sebagai seorang office boy, ia terbiasa membawa uang pas saat bekerja. Tapi itu bukan alasan untuk memanfaatkan keadaan. Uang tiga puluh ribu di sakunya masih cukup untuk mengisi ulang KMT dan membayar angkot. Permintaan istrinya untuk membeli jeruk masih bisa dipenuhi walau hanya sekilo saja.
Setelah transaksi jeruk selesai, Paijo bergegas menuju pangkalan angkot biru 03. Perjalanan menuju rumahnya di Kampung Telaga relatif lancar. Saat menyusuri kelokan gang menuju rumahnya, Paijo sudah menyiapkan kata untuk istri tercinta.
“Maaf Bu, jeruknya cuma sekilo. Uang Bapak kurang,” kata Paijo sambil mengendong Intan, buah hatinya.
“Ya sudah, nggak apa-apa. Saya bikin teh dulu ya Pak,” jawab istrinya sambil tersenyum manis.
Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dan suara salam. Paijo membalas salam dan membuka pintu.
“Eh Bu Lestari, silakan masuk Bu.”
“Di sini saja Pak. Saya cuma mau ngasih oleh-oleh. Tadi sore ada saudara datang dari kampung.”
“Wah terima kasih Bu.”
Setelah Bu Lestari pulang, Intan melongok isi kantong plastik. “Ju uk,” kata Intan sambil mengambil satu buah jeruk. Paijo tersenyum melihat tingkah Intan. Alhamdulillah, sepertinya Tuhan mengirimkan Bu Lestari untuk menggenapi buah jeruk menjadi dua kilo sesuai permintaan istrinya.
Saat berganti baju, Paijo mengamati KMT temuan yang tergeletak di meja. Paijo mendesah, Bagaimana cara mengembalikan KMT ini pada pemiliknya?
--- oOo ---

Anton tertegun menatap KMT yang tergeletak di meja kerjanya. Tak ada jejak identitas di tiket elektronik selain goresan tanda tangan. Sekarang bagaimana ia bisa mengembalikan KMT itu pada pemiliknya.
Sebagai seorang Marketing Manager, Anton sudah terbiasa memegang amanah dari pimpinan perusahaan. Setiap tugas selalu dikerjakannya dengan baik dan profesional. Sekarang, integritasnya teruji saat menerima kepercayaan dari seorang Office Boy (OB).
Sebenarnya ia sempat menolak halus, saat Paijo menyerahkan KMT temuannya. Baginya, keberadaan KMT itu hanya akan menambah bebannya saja. Namun kejujuran Paijo membuatnya luluh. Seorang OB dengan penghasilan pas-pasan berniat mengembalikan KMT temuan bersaldo 247.000. Sebuah kejujuran yang tak ternilai harganya.
Jika Paijo diam-diam menggunakan KMT itu, tak akan ada seorang pun tahu. Namun kejujuran menggerakkan hatinya, “Maaf Pak Anton, saya minta tolong KMT ini dimasukin ke Pesbuk. Kasihan yang punya pasti kebingungan. Saldonya lumayan banyak. Bapak kan punya banyak kenalan penumpang KRL. Saya tidak punya pesbuk, apalagi twiter pak.”
Walaupun memiliki kedudukan cukup tinggi, dalam pergaulan Anton tak pernah membedakan status maupun tingkat ekonomi seseorang. Tak heran jika ia juga akrab dengan banyak orang termasuk office boy di gedung tempatnya bekerja.
Anton bergegas memotret KMT temuan itu. Ia harus berusaha menghargai kejujuran Paijo. Dalam kehidupan tergesa, nilai-nilai kejujuran banyak yang hilang digilas laju peradaban. Anton merasa bersyukur karena kejujuran itu ternyata masih ada dan tak jauh dalam kehidupannya.
Anton pun mengunggah foto KMT itu di grup facebook KRLMania beserta pengumuman.
Seorang Office Boyi menemukan sebuah KMT di Jalan Wahid Hasyim, Jakarta. Di balik KMT ada tanda tangan pemilik. Barang siapa merasa kehilangan harap menghubungi saya melalui pesan pribadi. Untuk menghindari klaim dari orang yang tidak bertanggung jawab, sebutkan:
- Perkiraan saldo terakhir KMT
- Mengirimkan scan/foto tanda tangan.
Anton tersenyum. Ia berharap usahanya ini akan membuahkan hasil.
--- oOo ---

“Kamu bego banget sih Jo,” kata Hendra saat sedang istirahat di Pantry.
“Ya iya lah. Kalau pinter aku sudah jadi Bos,” jawab Paijo sekenanya, sambil mengelap meja.
“Kamu bisa aja Jo. Ini masalah kartu multi trip itu. Kok kamu kasih ke Pak Anton sih.”
“Jadi harus kukasih ke kamu Ndra. Lha enak amat. Kartu itu bukan aku kasih ke Pak Anton. Aku cuma minta tolong sama Pak Anton buat mencari pemiliknya.”
“Emang kamu yakin Dia bisa nemuin pemiliknya? Jangan-jangan malah diembat.”
“Hush! Kamu tak boleh berburuk rupa eh berburuk sangka. Pak Anton punya banyak kenalan sesama penumpang kereta. Pasti dia tahu caranya menemukan pemilik kartu itu.”
“Kamu yakin Jo.”
“Yakinlah. Kalau aku kasih ke kamu baru aku nggak percaya.”
“Sialan kamu Jo. Padahal mau aku beli lima puluh ribu.”
“Terima kasih Ndra. Barang nemu kok dijual.”
“Bagaimana kalau seratus ribu. Kontan.”
Hendra mengeluarkan dompet dan mengambil selembar uang seratus ribu. Hendra mengibaskan uang itu.
“Bagaimana Jo. Tawaran baik tidak datang dua kali.”
“Banyak uang kamu ndra. Mendingan uangnya buat bayar utangmu yang numpuk di warung Mpok Nurul, Ndra.”
“He he. Kok kamu tahu.”
“Ya tahu lah. Kemarin Mpok Nurul curhat: Tolong ingetin Hendra buat bayar utang.”
“Payah nih Mpok Nurul, pake sewa tukang tagih segala. Jangan kuatir Jo, nanti pasti aku lunasin,” kata Hendra sambil garuk-garuk kepala.
“Nah, gitu dong. Beli rokok sebungkus bisa kontan, kok makan malah ngutang,”
“Kok malah ngomongin utang sih. Penginnya sih naik kereta bisa ngutang juga.”
“Emang sepure Mbahmu.”
“Rooming deh. Kalau aku jadi kamu, kartu itu aku pakai sendiri. Lumayan, saldonya kan banyak. Nggak akan ada yang tahu.”
“Nggak ah. Aku nggak berhak memakainya.”
“Kamu sok bermoral Jo.”
Paijo hanya tersenyum menanggapi perkataan temannya. Kartu Multi Trip itu memang berisi saldo yang menggiurkan. Ia tak mau memanfaatkan saldo di tiket temuan, namun mengurangi saldo bekal perjalanan di hari kemudian.
--- oOo ---

Sejak mengunggah berita temuan Kartu Multi Trip, Anton menerima beberapa pesan di akun Facebooknya. Semua mengaku kehilangan tiket elektronik.
Sayangnya, belum ada yang bisa menulis dengan tepat atau setidaknya mendekati perkiraaan nilai saldo. Anton tersenyum. Ternyata banyak juga penumpang KRL yang kehilangan KMT.
Anton sempat bernafas lega saat seseorang mengaku kehilangan KMT bersaldo 250 ribu. Namun saat diminta mengirimkan foto tanda tangan, orang tersebut tak membalas lagi pesannya.
“Bagaimana Pak, sudah ada kabar baik?” tanya Paijo saat menyerahkan sebungkus gado-gado.
“Sudah ada beberapa yang mengaku kehilangan, tapi semuanya tak bisa menebak saldonya. Sabar Jo, kan baru dua hari,” jawab Anton.
“Iya Pak Anton, saya paham. Maaf kalau saya sudah merepotkan Bapak,” kata Paijo sopan.
“Nggak apa-apa Jo. Ini pakai lontong dan pedas kan?”
“Iya Pak, kan karetnya dua.”
“Sip lah. O iya kamu pernah nggak bertanya pada tukang gado-gado, mengapa kalau pedas kok karetnya dua?” tanya Anton iseng.
“Wah belum pernah Pak. Mungkin SOP-nya begitu Pak.”
“Kalau menurut pendapat kamu?”
“Ini mungkin lho Pak. Mungkin semacam falsafah tersirat agar saat menghadapi pedasnya kehidupan manusia harus lebih menguatkan ikatan iman dan keyakinan. Manusia kan menjalani dua kehidupan di dunia dan akherat nanti. Makanya karetnya dua.”
“Bisa jadi Jo. Kamu hebat juga. Saya saja tidak pernah berpikir sejauh itu. Tahunya makan saja.”
“Ah Bapak bisa saja. Kok jadi ngerumpi gado-gado ya Pak. Maaf, saya harus ke dapur dulu.”
Anton tersenyum menatap tubuh Paijo hingga hilang dibalik pintu. Ternyata dibalik sebungkus gado-gado pedas terselip nilai-nilai kehidupan. Hebatnya, yang mengupas falsafah itu adalah seorang office boy. Kita memang tak boleh meremehkan seseorang.
Saat hendak membuka bungkusan gado-gado. Sebuah pesan masuk ke akun facebooknya.
“Pak Anton, mengenai KMT yang Bapak temukan, mungkin itu milik teman saya. Soalnya KMT-nya yang hilang juga ada tanda tangannya.”
Dengan semangat, Anton bergegas menjawab pesan dari akun aditya gantenkz.
“Oke, kalau begitu suruh temannya menyebutkan perkiraan saldo dan mengirim foto tanda tangan.”
Entah mengapa, tiba-tiba Anton merasa tak lama lagi akan ada titik terang.
--- oOo ---

Titik terang menjelma bersama kedatangan Asti, perempuan pemilik KMT yang ditemukan Paijo. Sehari sebelumnya, Asti mengirimkan pesan di akun facebook Anton.
Perkiraan saldo KMT yang disampaikan Asti memang tak persis sama, tapi tak jauh berbeda. Memori manusia kadang rapuh dalam mengingat angka-angka. Yang terpenting: guratan tanda tangannya sama dengan goresan di KMT. Sesuatu yang tak mudah dimanipulasi.
“Terima kasih Pak Anton. Maaf sudah merepotkan. Sebenarnya saya sudah mengikhlaskannya. Rasanya mustahil KMT yang hilang itu bisa kembali,” kata Asti saat mereka bertemu di lobi untuk serah terima KMT.
“Sama-sama Bu Asti. Sebenarnya bukan saya yang menemukan. Saya hanya membantu Mas Paijo, office boy di kantor ini. Maklum dia belum punya fesbuk,” jawab Anton.
“Apakah saya bisa bertemu dengannya Pak?”
“Oh bisa Bu. Sebentar saya panggil Mas Paijo.”
Anton mengirim pesan pendek ke Paijo. Sambil menunggu kedatangan Paijo, mereka berbincang-bincang.
“Sepertinya KMT itu jatuh sewaktu saya mengambil handphone di saku jaket,” cerita Asti yang waktu itu sedang melintasi jalan raya Wahid Hasyim sesudah turun dari Stasiun Gondangdia.
“Kalaupun KMT itu ditemukan, saya pikir akan kesulitan bagi orang untuk melacak pemiliknya. Tak ada identitas dalam KMT. Saya hanya iseng membubuhkan tanda tangan. Eh tak tahunya ditemukan oleh orang sebaik Mas Paijo,” lanjutnya.
“Begitulah kekuatan media sosial bu. Walau memang media sosial seperti pisau bermata dua. Semua tergantung bagaimana cara kita memanfaatkannya,” jawab Anton.
Tak lama kemudian Paijo muncul. Anton segera memperkenalkan Asti kepada Paijo.
“Mas Paijo, ini namanya Bu Asti, pemilik KMT itu. O iya, saya mau ke belakang dulu. Silakan ngobrol-ngobrol,” kata Anton. Ia ingin membiarkan Asti dan Paijo berbincang tanpa ada gangguan dan rasa sungkan.
Sekitar setengah jam kemudian ia kembali ke lobi. Anton mendapati Asti sudah sendirian. Mungkin urusan dengan Paijo sudah selesai.
“Maaf Pak, saya harus pamit dulu. Sekali lagi terima kasih,” kata Asti dengan sopan.
Sambil mengantarkan Asti hingga ke depan kantor, Anton mencoba bertanya, “Bagaimana bu, tadi sudah berbicara dengan Mas Paijo kan.”
“Iya Pak. Saya jadi nggak enak Pak. Mas Paijo memang baik orangnya. Tadi saya mau kasih uang buat ucapan terima kasih tetapi Mas Paijo menolaknnya. Ia hanya bilang, doakan agar saya sehat dan selalu bisa berkarya.”
Perkataan Asti membuat Anton termenung. Seketika berbagai pikiran berseliweran seperti lalu lalang kendaraan.
--- oOo ---

Paijo terguncang-guncang di atas KRL Commuterline. Malam ini ia ingin cepat pulang, memeluk istri dan anaknya, dan menceritakan kabar gembira.

Kisah penemuan tiket Multi trip dua bulan lalu ternyata belum berakhir. Siang tadi ia dipanggil oleh Pak Bramantyo, Direktur Utama tempatnya bekerja. Di ruangan kerja Pak Bramantyo, sudah ada Pak Anton dan Bu Asti. Awalnya Paijo menduga, Pak Bramantyo menyuruhnya menghidangkan makanan dan minuman. Namun, yang terladi di luar dugaannya.

"Saya sudah mendengarkan kisah kejujuran Pak Paijo saat menemukan Kartu Multi Trip dari Pak Anton dan Bu Asti. Karena itu, saya memutuskan untuk mengangkat Pak Paijo sebagai karyawan tetap. Kejujuran Pak Paijo bisa menjadi teladan bagi karyawan lain. Saya merasa bangga memiliki karyawan seperti Pak Paijo," kata Pak Bramantyo.

"Alhamdulillah. Terima kasih Pak Bramantyo atas kepercayaannya. Sebenarnya sudah menjadi kewajiban saya untuk mengembalikan KMT itu pada Bu Asti," jawab Paijo dengan bibir gemetar. Ia sangat terharu atas kebaikan pimpinannya.

"Pak Paijo memang pantas mendapatkannya. Nanti bagian HRD akan mengurus semuanya," ucap Pak Bramantyo sambil menepuk pundak Paijo.

"O iya, Bu Asti juga datang kemari karena ada sesuatu yang ingin disampaikan. Silakan Bu Asti," lanjut Pak Bramantyo.

"Begini Pak. Terus terang, kejujuran Pak Paijo sangat menyentuh hati saya. Kebetulan saya bekerja di perusahaan travel. Karena itu, saya ingin memberikan kesempatan bagi Pak Paijo sekeluarga untuk umroh ke tanah suci," ungkap Bu Asti.

Paijo seketika merasa lemas. Ia tak bisa berkata-kata. Paijo sama sekali tak menyangka akan mendapatkan limpahan rejeki yang bertubi-tubi. 

"Alhamdulillah, terima kasih Bu Asti. Saya benar-benar tidak menyangka. Ya Allah, terima kasih atas nikmat dan karunia yang Engkau berikan pada hamba-Mu ini," ucapnya terbata-bata. Suasana haru seketika menyelimuti ruang.

KRL Commuterline terus berderak membawa tubuh-tubuh yang berdesakan menuju jalan pulang. Paijo terus mengingat peristiwa siang tadi. Dalam guncangan kereta, tak terasa air matanya mengalir.


--- selesai ----
Depok, Mei 2015



Selasa, 26 Mei 2015

Cerpen: Layar Sentuh

Berita digerebeknya sebuah rumah di Sukmajaya Depok yang disinyalir sebagai tempat prostitusi ABG (25/5/2015) mengingatkan pada cerpen saya di Okezone.com 13 Desember 2012

http://news.okezone.com/read/2012/12/13/551/731662/layar-sentuh

DENGAN sentuhan jemari, aku ingin mengenggam warna-warni dunia. Sentuhan pada layar telepon genggam yang mengantarkanku pada denyut percakapan, riuh kata-kata dan keceriaan masa remaja.

Kecanggihan teknologi sepertinya telah berhasil menerjemahkan kekuatan penyihir. Tanpa perlu repot memencet sekian tombol, setiap sentuhan jemari akan diterjemahkan oleh kepekaan sensor kemudian mengantarkan kita pada fitur-fitur penuh keajaiban.
Sayang, kecanggihan benda mungil itu harus ditebus dengan harga mahal.

---oOo---

“Put, hape pakai tunyuk skrin kan harganya satu juta lebih. Ibu tidak punya uang sebanyak itu, Nak.”
Touch screen Bu. Bahasa Indonesianya: layar sentuh.”
“Iya, hape yang harus di-tunyuk-tunyuk itu kan.”
Puteri hanya tersenyum mendengar ibunya menyebut istilah tunyuk skrin. Sebenarnya tak salah juga, karena dalam bahasa daerah kampung halaman ibunya, tunyuk artinya menekan dengan jemari.

“Terserah bagaimana Ibu mau menyebutnya, yang penting belikan Puteri hape layar sentuh.” “Kenapa tidak beli hape biasa saja, yang Rp150 ribu. Itu lho yang sering muncul di iklan-iklan. Sama saja kan, yang penting bisa telpon dan es-em-es.”

Puteri hanya bisa mendesah. Ah, Ibu terlalu sederhana pola pikirnya. Jaman sudah berubah. Fungsi telepon genggam sekarang tidak hanya sekedar buat menelepon dan mengirim pesan pendek. Puteri merasa perlu ikut ambil bagian dalam kehidupan jejaring sosial, memperbarui atau mengomentari status Facebook dan Twitter, chatting, dan menjelajah dunia maya. Bagaimana menerangkan istilah-istilah asing ini pada ibunya yang cuma penjual gado-gado?

Belum lagi fasilitas yang memanjakan mata dan telinga seperti memutar video atau musik, mendengarkan radio, bahkan menonton televisi. Dalam benda mungil itu pun tersedia aneka permainan penguji ketangkasan tangan maupun ketajaman pikiran. Seakan segenap denyut kehidupan tersaji dalam genggaman.

Untuk memenuhi hasrat narsis yang diam-diam menghuni benak generasi bangsa, kehadiran kamera dengan resolusi sekian Megapiksel tentu saja sangat dibutuhkan.  Momen-momen penting masa remaja harus ditampung dalam ingatan yang besar. Memori internal tak cukup banyak menyediakan ruang. Seperti kapasitas otak manusia yang terbatas, hingga diperlukan buku-buku, kamus, ensiklopedia, atau catatan-catatan untuk memperluas ingatan.

Karena itu, benda mungil itu perlu disusupi memori eksternal dengan kapasitas sekian giga, agar setiap foto kenangan bisa mendekam dengan tenang. Begitu juga dengan koleksi ratusan musik yang tak usah terusik, hingga hari-hari menjadi asyik. Serupa rumah besar yang siap menampung aneka perabotan. Tak seperti sempit ruangan di rumah kontrakan tempat Puteri dan ibunya tinggal.

Teknologi canggih ternyata tidak melupakan naluri manusia untuk saling berbagi. Maka tertanamlah perangkat bluetooth, yang memungkinkan kita berbagi foto atau musik tanpa perlu sambungan kabel. Dunia terasa ringkas dalam genggaman.

Fitur-fitur itu akan semakin mempesona ketika kita hanya perlu menyentuh layar untuk mengoperasikannya. Seperti nenek sihir hanya perlu mengacungkan tongkat untuk mewujudkan keinginannya. Seperti kekuatan sosok alien dalam film lawas tapi tetap memukau, The Extra-Terrestrial, yang ditonton di rumah Shinta sahabatnya. Hanya dengan sentuhan jemari, makhluk luar angkasa itu bisa mengalirkan kekuatan dasyat.

Dengan menggenggam telepon genggam layar sentuh, tentunya Puteri akan lebih percaya diri bergaul dengan teman-temannya yang rata-rata memegang telepon genggam keren. Kalau memegang telepon genggam biasa seharga dua ratus ribuan, tentu ia tidak akan berani mengeluarkannya dari dalam tas. Bisa-bisa seluruh sekolah akan mengejeknya habis-habisan.

Tapi Puteri tidak bisa berharap banyak dari ibunya. Keuntungan dari hasil mengulek dan meracik gado-gado hanya cukup untuk menghidupi mereka berdua. Sebenarnya kerja keras ibunya sudah sangat hebat, karena sampai sekarang ia tidak pernah sekalipun menunggak pembayaran SPP. Ah, andai saja ayahnya masih ada. Tentu, Puteri akan lebih gencar membujuk dan merajuk.

Melihat ibu yang sudah berusaha sekuat daya, Puteri merasa tak enak hati jika terus-terusan meminta. Sejak ayahnya meninggal ketika Puteri kelas tiga Sekolah Dasar, semua beban hidup beralih ke pundak ibunya. Tanpa kerja keras ibu, pasti Puteri tidak akan bisa berseragam putih abu-abu seperti sekarang. Ah, ia memang terlalu banyak menuntut.

Sebenarnya Puteri lebih suka dipusingkan dengan rumus-rumus Fisika, Kimia, maupun Matematika. Serumit apapun rumus itu, jika kita mempelajarinya dengan tekun pasti bisa ditaklukkannya. Namun faktor-faktor di luar mata pelajaran justru terasa lebih memusingkan. Mulai dari gaya penampilan, tempat nongkrong, kendaraan, telepon genggam, laptop, cowok, maupun hal-hal lain yang berhubungan dengan pergaulan remaja masa kini. Puteri tak punya cukup uang untuk memenuhi tetek bengek seperti itu. Sementara ia juga tidak ingin terasing dari pergaulan teman-teman sekolahnya.

---oOo---

“Jika mau menerima sentuhan, engkau bisa membeli hape layar sentuh.” 

Puteri tak henti mengagumi kecanggihan telepon genggam layar sentuh kepunyaan Tante Rini, tetangganya. Perempuan cantik itu bermurah hati meminjamkan benda mungil ini kepadanya. Sambil mendengarkan musik, jemarinya asyik membuka fitur-fitur yang tersedia. Tapi, pikirannya tak lepas memikirkan ajakan Tante Rini yang terus terngiang.
Puteri mencoba menduga arah pembicaraan Tante Rini. Apakah maksud kata, “Rela menerima sentuhan untuk mendapatkan layar sentuh,” berarti ia harus merelakan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupnya.

Pekerjaan Tante Rini sendiri masih misterius dan tanda tanya. Rutinitasnya berangkat kerja selepas petang dan pulang menjelang subuh, mengkicaukan kabar burung seantero warga sekampung pada dugaan profesi seputar wilayah remang-remang. Mulai dari pelayan café, penyanyi dangdut keliling, tukang pijat, hingga kupu-kupu malam. Entah mana yang benar? Gosip memang kadang tidak mengenal asas praduga tak berzinah, eh bersalah.

“Tante tidak memaksa, tapi kalau mau ikutlah bersama Tante malam minggu nanti. Dalam semalam kamu bisa dapat uang Rp500 ribu tanpa perlu bekerja keras.”
Pesona layar sentuh kembali menggoda hati Puteri. Kapan ia menggenggam dan memiliki benda mungil ini. Kapan ia bisa membuktikan kata-kata yang terlanjur meluncur pada beberapa teman sekelasnya.

“Aku juga bisa punya hape layar sentuh?”
Kata-kata yang ternyata disambut dengan tawa cekikikan setengah mengejek.
“Anak tukang gado-gado punya hape layar sentuh? Mimpi kaleeee?”
“Ciyus? Miapah?”

Puteri kembali asyik menyusuri keajaiban layar sentuh. Kesadarannya seperti terseret memasuki sebuah dunia yang begitu dinamis dan penuh warna. “Jangankan hape layar sentuh, Kalau kamu mau ikut Tante, dalam waktu tiga bulan kamu bisa memiliki Ipad.”

Komputer jinjing dengan layar sentuh tentu tak pernah terlintas dalam lamunannya. Pasti akan sangat keren jika ia ke sekolah tidak sekedar hanya membawa telepon genggam layar sentuh tapi juga Ipad. Pasti seluruh sekolah akan membicarakannya. Tapi kembali kesadaran hati Puteri menghembuskan pertanyaan besar. “Haruskah layar sentuh dalam genggaman harus kutebus dengan menerima sentuhan di sekujur badan?”

---oOo---

Puteri berusaha menaklukkan debur perasaan yang bergemuruh di rongga dadanya. Pendingin udara tak kuasa menahan laju keringat yang membasahi dahi dan wajah Puteri. Dinding kamar hotel terasa menghimpit kesadaran. Pikiran gelap telah menuntunnya menuju jalan yang ditawarkan Tante Rini. Pesona layar sentuh benar-benar telah menyihir kelabilan jiwa remaja Puteri.

“Akan kubuktikan bahwa aku juga bisa mempunyai hape layar sentuh.” Ejekan dan provokasi teman-temannya telah membuat Puteri kalap. Harga dirinya merasa terlecehkan. Sekarang, ia harus membuktikan kata-kata yang terlanjut keluar dari mulutnya. Tapi bagaimana cara mendapatkan uang yang tidak sedikit itu? Memaksa ibunya jelas tak mungkin.

Entah bisikan setan darimana, Puteri seketika teringat pada ajakan Tante Rini. Maka sore tadi, dengan alasan menghadiri pesta ulang tahun temannya, Puteri mengendap-endap menuju rumah Tante Rini dan sepakat bertemu di sebuah hotel di tengah kota.
“Tunggulah di kamar ini. Jika ada seseorang yang datang, kamu hanya perlu diam dan menuruti semua kemauannya. Awas jangan macam-macam.”

Sekarang, Puteri merasa begitu takut. Ia ingin segera lari dari kamar hotel ini. Tapi sepertinya sudah tak mungkin lagi. Di lobi hotel, Tante Rini dan seorang bertubuh kekar telah siap siaga menjaga segala kemungkinan. Apalagi ia sudah terlanjur menerima uang Rp500 ribu.

“Betapa mahal harga yang dipertaruhkan untuk menggenggam benda mungil itu.”
Sebuah ketukan membuat jantung Puteri berdegup kencang. Keringat dingin kembali membasahi wajahnya. Dengan tangan gemetar, dipegangnya gagang pintu.  Klik. Sesosok lelaki berumur muncul bersama terbukanya daun pintu.

Puteri sangat terkejut, begitu juga raut muka lelaki dihadapannya. Keduanya tak bisa menyembunyikan keterkejutan yang sama. Sejenak keduanya menjadi salah tingkah dan hanya terpaku tanpa keluar sepatah kata pun.

Raut wajah lelaki itu begitu lekat dalam kehidupan Puteri. Bukankah, ini Om Anton, orangtua Shinta, sahabatnya. Mereka begitu akrab. Bahkan, orangtua Shinta telah mengganggap Puteri seperti anggota keluarga mereka. Bagaimana sosok yang selama ini dikenal Puteri sebagai seorang ayah yang setia dan bertanggung jawab bisa berada di kamar hotel untuk menemui gadis remaja sepertinya?

“Lho, kok Om Anton ada di sini?”
“Puteri sendiri mengapa di sini?”
Setengah terisak, Puteri menceritakan semua yang terjadi. Tak terasa, air mata menetes dari sepasang mata Om Anton. Dengan lembut dibelainya rambut Puteri. Sebuah sentuhan kasih sayang orangtua pada anaknya. Belaian yang sudah lama hilang dan tidak pernah dirasakan Puteri. Tanpa perlu berkata-kata, Puteri sudah mengerti gejolak yang dirasakan ayah sahabatnya itu.

“Maafkan Om Anton ya. Tiba-tiba Om ingat pada Shinta. Bagaimana kalau peristiwa ini menimpa dirinya. Untung semuanya belum terjadi. Sekarang pulanglah. Anggap saja kita tidak pernah bertemu di tempat ini. Mari kita tutup rahasia ini rapat-rapat.”
“Baik Om, tapi Om Anton juga harus berjanji.”
“Berjanji apa?”
“Berjanji untuk setia dan tidak menghianati kepercayaan keluarga Om Anton.”
“Tanpa Puteri minta pun, Om Anton akan berusaha menjaga kepercayaan itu. Om benar-benar menyesal.”

Tiba-tiba terdengar suara pintu didobrak. Dua orang berseragam polisi mengacungkan pistol. Puteri menjerit kencang dan reflek memeluk tubuh Om Anton untuk mencari perlindungan. Kilatan lampu kamera dan hardikan suara lantang menyergap.
“Angkat tangan! Kami dari kepolisian.“

---oOo---

Sebagai pengusaha yang berpengaruh di kota ini, dengan berbagai lobi, Om Anton bisa menutup rapat-rapat kejadian memalukan di malam itu agar tidak menyebar. Seorang pengusaha ditangkap sedang berduaan dengan gadis remaja di sebuah kamar hotel. Pasti berbagai isu dan spekulasi akan bermunculan. Apa kata dunia?

Puteri pun bebas dengan jaminan dari Om Anton. Tentu saja dengan catatan dan kesepakatan, agar Puteri menutup rapat-rapat peristiwa malam itu. Sementara Tante Rini raib entah kemana. Ternyata Tante Rini merupakan salah satu mata rantai sindikat yang sering menjerumuskan gadis remaja ke dalam lembah nista bernama prostitusi.

Puteri hanya bisa berkubang dengan airmata penyesalan. Beberapa hari ia mengurung diri di kamar. Peristiwa malam itu benar-benar telah menguncang kesadaran jiwanya. Hanya karena ingin memiliki telepon genggam layar sentuh, ia telah membutakan mata hati dan nuraninya. Harusnya ia menyadari kemampuan orang tuanya dan tidak mudah terprovokasi persaingan remeh-temeh bersifat kebendaan. Harusnya kemiskinan justru melecut kemampuan untuk mencapai prestasi tertinggi.

Seandainya bukan Om Anton yang mengetuk pintu kamar itu, mungkin sekarang ia telah kehilangan kesucian. Ah, bagaimana perasaan Ibunya jika mendengar semua ini. Puteri hanya bisa berharap semoga peristiwa malam itu tidak menyebar apalagi menjadi berita di surat kabar.

Sementara di beranda rumah, ibunya masih sibuk menggerus bumbu dan meracik gado-gado. Sepertinya perempuan tua itu tidak tahu peristiwa yang baru saja menimpa anak kesayangannya.

Sesobek koran segera diambilnya untuk membungkus pesanan. Kesibukan membuat mata rentanya tak lagi memperhatikan selarik judul berita harian lokal. Apalagi ketika aneka sayuran dan cairan bumbu menimbun berderet kata.

DEMI HP LAYAR SENTUH, SISWI SMA NEKAT JUAL DIRI

--- oOo ---

Depok, 01 September 2011

SETIYO BARDONO, seorang TRAINer (penumpang Kereta Rel Listrik/KRL) kelahiran Purworejo, 15 Oktober 1975. Buku Antologi puisi tunggalnya: Mengering Basah (Aruskata Press, 2007), Mimpi Kereta di Pucuk Cemara (Pasar Malam Publishing, 2012), dan Aku Mencintaimu dengan Sepenuh Kereta (eSastera Malaysia, 2012). Cerpennya sudah dimuat di berbagai media cetak. Email: setiakata@yahoo.com